Note : Gambar mayat di kapan dibawah hanyalah sebuah lakonan sewaktu kursus pengurusan jenazah diikuti sebelum ini. Bukan gambar mayat sebenar. HARAP MAKLUM.
KEMATIAN sering dianggap sebagai peristiwa menakutkan, bahkan mungkin paling mengerikan dalam setiap fikiran makhluk yang bernyawa yang bernama manusia. Dalam pengalaman hidup manusia, kematian selalu menjadi bentuk pengalaman terburuk. Kerananya kematian sering menitiskan air mata kesedihan, kepiluan, bahkan kekecewaan. Di sini, kematian sering dianggap sebagai pengakhir dari segalanya, satu tanggapan yang salah dan tidak benar sebenarnya.
Setiap individu pasti akan merasakan mati. Ungkapan tersebut banyak muncul dalam ayat-ayat Al-Quran, di antaranya Surat Ali Imran: 185, Al-Anbiya: 35, dan Al-Ankabut: 57. Hal itu dapat dijadikan sebagai peringatan bagi setiap makhluk yang bernafas, juga sebagai ketegasan Al-Quran bahawa kematian adalah kemutlakan dan ketetapan yang harus terjadi. Bukankah kehidupan adalah permulaan menuju sebuah kematian?
Kematian memang merupakan sebuah misteri Ilahi. Misteri yang teramat sulit jika hanya difikir rasional dan mengandaikan hal-hal yang bersifat ghaib. Tidak seorang pun yang tahu akan proses kematian, apalagi untuk memajukan atau mengakhirkan waktu kematian itu sendiri. Sebagaimana firman Allah dalam Al-A'raf: 34, "Tiap umat memiliki batas waktu (ajal); apabila telah datang waktunya (kematian/ajal) mereka tidak dapat melewatkannya barang sesaat pun malahan tidak akan dapat pula mempercepatkannya walau sedetik".
Kematian adalah salah satu dari sekian banyak senario yang ditetapkan oleh Allah SWT di samping perjodohan, kebahagiaan, dan kecelakaan manusia. Pengakuan akan masalah tersebut harus dilandasi keimanan yang merupakan asas keyakinan dan kepercayaan bagi para muttaqin. Kejadian kematian adalah sebahagian dari kejadian ghaib milik ALLAH swt dan bagi setiap individu bertakwa menjadi keharusan untuk mengimaninya (Q.S. Al-Baqarah: 2).
Berbagai dalil dari setiap ajaran agama mengakui akan datangnya kematian pada tiap-tiap makhluk yang hidup. Namun anehnya, banyak orang-orang yang jika diamati dari tingkah lakunya seolah-olah mereka tidak akan merasai mati. Tilikan itu terlihat dari beberapa orang yang begitu "gigihnya" mencari, mengumpul, menunjuk-nunjuk, bahkan menghitung-hitung hartanya setiap hari. Selain itu, banyak di antara mereka yang begitu bangganya dengan kehidupan yang bermegah-megahan, berfoya-foya maupun kehidupan yang dipenuhi kegemerlapan duniawi lainnya yang pada hakikatnya bersifat sementara sahaja.
Akibat dari sikap seperti itu menunjukkan kealpaan mereka atau bahkan sengaja melupakan kehidupan yang akan muncul setelah kehidupan di dunia ini berakhir. Padahal Allah SWT menciptakan kehidupan manusia di dunia dalam posisi baik maupun buruk merupakan batu ujian untuk kelulusan menghadapi kehidupan selanjutnya. Dan ukuran kebahagian mereka kelak ditentukan berlandaskan segala amalan mereka hari ini.
Bukankah Allah Azza wa Jalla telah mengungkapkan dalam Al-Quran, "Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya pula" (Q.S. Az-Zalzalah: 7-8).
Ayat tersebut memberikan pilihan bagi kita untuk melakukan kebaikan atau sebaliknya. Kedua pilihan hidup tersebut memiliki akibat yang sama atas pilihan kita itu. Ertinya, sesuatu yang akan kita peroleh bergantung pada proses awal yang kita lakukan. Rasulullah mengungkapkan dalam sebuah hadisnya, "Setiap pekerjaan (amal) diiringi dengan niat, dan setiap orang akan bergantung dari apa yang diniatkannya itu".
Masalahnya, kita jarang memahami erti dari kehidupan kita di dunia ini. Kita sering beranggapan bahawa Allah peduli, saat kebahagiaan menghampiri kita. Namun sebaliknya saat musibah atau keburukan pula yang menimpa, kita menilai bahawa Allah tidak pedulikan kita lagi. Akibatnya, tidak jarang kita melakukan sesuatu di dunia ini tanpa berpandukan oleh nilai-nilai Illahiyah. Sebaliknya kita lebih sering melihat kehidupan kita ini dengan ukuran-ukuran keduniaan yang sering menipu dan membodohkan kehidupan dunia kita.
Kecintaan kita terhadap dunia sering melupakan kita akan datangnya kematian, sehingga ketika ditinggalkan oleh orang-orang yang kita cintai maka kiamat seakan telah dekat.
Islam mengajarkan bahwa kematian bukanlah akhir dari keseluruhan kehidupan manusia. Menurut Nurcholis Madjid (2000: 190), kematian bukanlah akhir pengalaman penghidupan makhluk (manusia). Kematian, menurut beliau, adalah "pintu" untuk memasuki kehidupan manusia selanjutnya, suatu kehidupan yang sama sekali lain dari yang sekarang kita alami, yaitu kehidupan ukhrawi. Pandangan seperti ini banyak dipegang oleh setiap orang Islam bahkan lebih cenderung sebagai suatu hal yang "taken for granted".
Sebagai contoh kehidupan itu tetap berlangsung adalah bagi orang yang berjihad di jalan Allah (fii sabilillah). Meskipun secara jasmani telah ada keterlepasan antara nyawa dari jasadnya, secara eksistensial ia akan tetap hidup. Hidup kerana kebaikan, kerja keras, kegigihan maupun pengorbanan yang dikerjakan selama hidupnya. Selain itu, orang-orang yang meninggal dalam perjuangan di jalan Allah tentunya akan menikmati kehidupan hakiki pasca-kematiannya di dunia.
Demikian itu diabadikan dalam firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya" (Q.S. Al-Baqarah: 154).
Dalam konteks ini, sungguh sangat disayangkan jika setiap individu yang beragama Islam hanya berkudrat dan mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi belaka. Apalagi, kehidupan sebenar kita justru dipenuhi oleh keburukan-keburukan yang kita sendiri lakukan. Keburukan yang tidak saja merusak pribadinya, tetapi juga kehormatan agama dan bangsanya, seperti membunuh jiwa orang lain ataupun menciptakan kekotoran pada setiap jiwa manusia.
Padahal jika kita menyedari akan hakikat sebuah kematian itu, setiap gerak kehidupan kita akan selalu diwarnai oleh kegiatan-kegiatan yang bermakna dan berguna bagi setiap makhluk. Kehidupan kita akan terasa selalu diawasi oleh Sang Maha Pencipta. Maka, geraknya adalah untuk kebaikan, kerana sebaik-baik manusia adalah mereka yang memiliki nilai kemanfaatan bagi manusia lainnya (khiru an naasi anfa’uhum li an naasi).
Sekiranya kita belum mampu memahami hakikat kematian itu, maka jangan begitu saja melupakan kematian dengan hanya memikirkan kehidupan keduniawian semata-mata. Allah SWT tidak melarang manusia untuk mencari kesenangan mereka di dunia. Tapi akan sungguh sangat adil jika kita pun tidak melupakan untuk mempersiapkan kehidupan di akhirat kelak.
Subhanallah, sekiranya kehidupan di dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang selalu mengingat mati dan mempersiapkan kematiannya kelak. Semoga kita digolongkan kepada orang-orang yang mampu memahami erti dari kematian kita.
~salam ceria selalu
No comments:
Post a Comment